Home » » Upacara Nangluk Mrana

Upacara Nangluk Mrana

Written By Unknown on Minggu, 11 Oktober 2015 | 22.48



Nilai-nilai budaya nenek moyang yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Gianyar di Bali salah satunya melalui Upacara Nangluk Mrana (upacara membendung hama dan penyakit) yang berlangsung di Desa Lebih, Desa Pantai, 6 km di Selatan Pusat Kota Gianyar, kurang lebih 34 km dari Denpasar.

Gangguan penyakit (mrana) dipercaya datang dari Laut Selatan, dapat juga merupakan kutukan dari Betara Gunung Batur. Untuk mengantisipasi timbulnya hama dan penyakit pada tumbuhan, hewan, dan manusia, penduduk harus melaksanakan upacara untuk ‘tolak bala’ dan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wase agar memperoleh keselamatan hidup dengan melakukan “buta yadnya”.
Upacara Nangluk Mrana diselenggarakan secara turun-temurun pada hari tilem ke enam (menurut penanggalan Bali) atau setiap bulan Desember. Upacara Nangluk Mrana bermaksud untuk memohon keselamatan dan kesuburan tanah pertanian. Sebelum diselenggarakan Upacara Nangluk Mrana, tahap-tahap yang dilakukan adalah:

- Upacara Pakeling ke Luhur
Meminta izin kepada Sang Hyang Widhi Wase agar upacara dapat berjalan dengan lancar.

- Upacara Negteg
Menyucikan bahan-bahan yang akan digunakan dalam upacara.

- Upacara Nyikut Karang
Dipimpin oleh Pemangku untuk memohon keselamatan karena di tepi pantai akan dibuat bangunan darurat untuk tempat sesajen.

- Upacara Nyuci (Nyamuh)
Persiapan sesajen untuk Betara Suci dan Betara Saraswati agar diberi keselamatan dalam pembuatan sesajen.

- Metanding
Proses perangkaian bahan-bahan untuk keperluan upacara.

- Metanding Caru
Penyembelihan ayam, itik, dan babi untuk memohon keselamatan kepada Sang Hyang Widhi Wase.
Pada hari tilem sasih ke enam, para nelayan akan membawa sesajen dari Pura Segara ke tempat upacara di Pantai Lebih. Masyarakat yang hendak mengikuti upacara melakukan persembahyangan ‘matur piuning’ di Pura Keluarga (pemerajan), tempat bersemayamnya Betara Kawitan (roh yang telah disucikan). Masyarakat Bali percaya bahwa arwah leluhur harus diberi penghormatan terlebih dahulu sebelum melakukan penghormatan di tempat lain. Usai bersembahyang, masyarakat akan berjalan dan berkumpul di pantai.

Upacara Nangluk Mrana pun dimulai. Pemangku akan mempersembahkan hewan kurban yang terdiri atas ayam lima warna. Tiap hewan kurban tersebut akan dilengkapi dengan berbagai sesajen dan ditempatkan pada lima penjuru mata angin yaitu timur, selatan, barat, utara dan tengah. Diawali dengan pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi Wase agar diperkenankan melaksanakan Upacara Mecaru, dilanjutkan persembahan kurban pada Butha Kala. Gamelan dan bunyi-bunyian lainnya mengiringi caru yang dibawa berkeliling tempat upacara untuk diaduk-aduk, memiliki makna simbolik untuk mengusir pengaruh buruk dari Betara Khala.

Pemujaan dilakukan oleh Pedanda dengan peletakan Banten; Banten untuk Betara Surya diletakkan di Sanggar Surya, Banten Pakeleman, Pesoroan dan Banten lainnya yang ditujukan ke laut diletakkan di Bale Panggungan. Pedanda kemudian memuja dan mempersembahkan banten tersebut kepada Sang Hyang Widhi Wase. Selesai pemujaan, sesajen akan disucikan oleh tukang banten dan beberapa wanita dengan cara memercikkan air suci.

Peserta upacara diminta untuk ‘ngaturang bakti’, melakukan sembahyang dipimpin oleh Pedanda, kemudian dilaksanakan upacara Pedanaan dipimpin oleh Bupati dengan menyebarkan sesajen kepada khalayak untuk diperebutkan. Sebagai penutup Upacara Nangluk Mrana, dilakukan Upacara Pekelem ke laut dengan mempersembahkan kurban berupa bebek hitam dalam kondisi hidup dan banten pekelem. Sesajen ditengggelamkan ke laut dengan menggunakan jukung (sampan).
Kiwa tengen mula matunggalan” artinya ‘kiri kanan memang bersatu’, merupakan ungkapan yang dipercaya oleh masyarakat Bali bahwa untuk mencapai hasil yang baik, kaum laki-laki dan perempuan harus saling bekerja sama agar terbebas dari serangan hama dan penyakit.

0 komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Random Post