Home » » Pentingnya Nyadran Bagi Masyarakat Nelayan Marunda Kepu

Pentingnya Nyadran Bagi Masyarakat Nelayan Marunda Kepu

Written By Unknown on Senin, 26 Oktober 2015 | 23.56

Wawancara dengan Bang Suaeb Mahbub kelahiran Marunda Kepu, 02 Oktober 1975 yang beralamat di Kampung Marunda Kepu RT. 008/07 Marunda, Jakarta Utara. Keseharian beliau adalah tokoh pemuda nelayan Marunda dan juga sebagai pemuda pelopor kebaharian Kemenegpora RI, ditemui pada saat prosesi sedekah laut “nyadran” masyarakat nelayan Marunda Kepu, Minggu, 09 Agustus 2015.

Pengertian “Nyadran” Bagi Masyarakat Nelayan Marunda Kepu, Jakarta Utara

Bang Suaeb Mahbub, Koordinator Nelayan Marunda Kepu mengatakan bahwa nelayan biasa melaksanakan kegiatan melaut itu harus ada “basa-basi” kepada laut. Artinya Allah SWT menciptakan dunia ini dengan berbagai macam isinya, termasuk manusia di darat, makhluk hidup yang di laut, makhluk-makhluk lain yang tidak keliatan/ghoib itu ada.

Jadi paling tidak kita sebagai manusia telah diajarkan tata krama, mungkin tata krama kita (nelayan) seperti ini.

Sehingga mungkin saja kalau kita mau masuk ke kampung/wilayah orang itu ada Presiden, ada Menteri, ada Gubernur, ada Bupati, ada Walikota, ada Camat, ada Lurah, ada RT, ada RW. Paling tidak kita harus melewati dan bahkan menghormati pos-pos tertentu.



“Dan itulah barangkali bahwa setiap kita mau jalan atau keluar kampung harus menghormati semua tetua kampung yang akan ditinggalkan, yaitu lingkungan sekitar kita dengan bebacaan tahlil, takbir, tahmid, memohon restu,” kata Suaeb Mahbub.

Nyadran itu berasal dari kata nazar dan nazar itu adalah suatu janji. Janji adalah hutang dan hutang itu harus dibayar. Jika nelayan itu berkah, mereka mempunyai kewajiban menyelenggarakan sedekah laut atau biasa disebut nadran dan nyadran menurut dialek orang Betawi.
Nyadran adalah suatu tradisi budaya nelayan dimana setiap pantai memiliki kearifan lokal yang biasanya dihormati pada setiap tempat penangkapan ikan.
“Jadi persoalannya disini kita melakukan adat dan tradisi nyadran yang merupakan sebuah kewajiban nelayan yang dilakukan sebelum memulai menangkap ikan,” jelasnya.
Menurutnya, Allah SWT menciptakan alam ini dengan berbagai macam makhluk yang nyata maupun yang tidak kelihatan atau yang disebut makhluk alam ghoib. Di setiap sudut, ruang Allah menciptakan makhluk-makhluk dengan jumlah jutaan bahkan trilyunan. Wallahua’lam bisshowab, hanya Allah yang mengetahui. Jadi nyadran ini merupakan adat dan kebiasaan atau biasa disebut tata krama.
“Seperti itulah adat tradisi dan tata krama nelayan di Betawi yang sangat menghargai dan menghormati nilai-nilai budaya kearifan lokal,” tandasnya.
Kondisi Masyarakat Nelayan Marunda Kepu
Masyarakat nelayan Marunda Kepu terdiri dari 2 (dua) Rukun Tetangga (RT) yakni RT 008 berjumlah 130 Kepala Keluarga (KK) dan Rukun Tetangga 009 berjumlah 60 Kepala Keluarga (KK) dan memang kondisi tersebut  sudah harus dilakukan pemekaran wilayah. Namun masyarakat tampaknya belum siap dan merasa keberatan karena akan kesulitan didalam kepengurusan administrasinya nanti. Oleh karena itu, kondisi demikian tetap dipertahankan masyarakat walaupun telah melebihi kapasitas jumlah penduduk.
“Dan itu bukan karena tidak patuh dengan peraturan,” ungkap Bang Suaeb.

Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa pekerjaan masyarakat nelayan Marunda Kepu selain menjadi nelayan ada juga yang menjadi petani tambak, supir, petugas keamanan, dan pekerja pabrik.

Selain itu, ungkap Bang Mahbub bahwa wilayah Marunda Kepu tempo dulu memang terdiri dari empang-empang. Masyarakatnya banyak yang melaut dan kemudian banyak juga yang menjadi petani tadah hujan. Jadi masyarakatnya dulu sangat beragam, namun tetap hidup dari hasil laut.

Jika dilihat melalui ilmu sosial bahwa nelayan ini pada posisi strata empat, artinya strata yang dibawah standar atau pra sejahtera penghidupannya.

“Karena nelayan itu kadang berkah, kadang tidak,” tegasnya.

Harapan Masyarakat Nelayan Marunda Kepu

Ditambahkannya bahwa masyarakat nelayan Marunda Kepu adalah rata-rata sebagai nelayan tangkap, bila kita lihat dari hasil tangkapannya yaitu rajungannya, kepitingnya, ikan kakapnya. Oleh karena itu, diharapkan masyarakat sekitar Marunda agar menjaga lingkungan laut secara baik dan menekan pencemaran laut.


Dan juga terhadap pemerintah, nelayan Marunda juga berharap UU Kelautan dapat ditinjau kembali penggunaannya, karena selama ini UU Kelautan tersebut terasa memberatkan para nelayan. Seperti misalnya bahwa nelayan tidak boleh menangkap kepiting dan rajungan yang sedang bertelur, dengan alasan terkait pengembang biakkan. Padahal hal itu sangatlah baik dan tidak memberatkan nelayan, apabila terkondisikan dengan baik dalam pelaksanaannya. Seperti harus digalakkan sosialisasi dan pembinaan dalam hal pengembangbiakkan hewan-hewan laut. 

0 komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Random Post