Solo-Rumah
di Gang Kepuh itu sedikit lengang, tampak bagian teras rumah tersebut
masih sedikit berantakan karena renovasi. Pada ruangan depan rumah
tersebut tersaji beberapa alat gamelan rumah tersebut adalah kediaman
sekaligus sanggar kecil milik ibu Supadminingtyas, “nanti saya mau nambahpinjam
lagi mas dari Taman Budaya Surakarta” begitu jawabnya ketika ditanya
perihal banyaknya alat gamelan yang yang berjajar di ruang tamu
rumahnya. “Alat itu saya pakai untuk mengajar, namun belum cukup, karena
pesertanya masih banyak” begitu jelasnya. Ibu Supadminingtyas atau
biasa disebut dengan Nyi Supadmi ketika diatas panggung itu merupakan
salah satu maestro yang dipilih oleh Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan untuk melatih para peserta Belajar Bersama Maestro yang
dibuat oleh pemerintah.
Sewaktu
masih muda ia hidup dalam keadaan yang serba susah, baginya mengenyam
pendidikan adalah hal yang sangat mustahil. Pada sekitar tahun 60an ia
mengikuti bibinya menjadi pembantu rumah tangga, kemudian sambil
berjualan kue. Uang yang dimilikinya ditabung perlahan-lahan, hingga
suatu ketika ia dapat mendaftar paket C. Awal mula perkenalannya dengan
dunia sinden, bermula ketika tahun 1967 di sekitaran lingkungannya
dibuka pelatihan karawitan, namun kala itu ia tidak memiliki uang untuk
mendaftar dan keberanian untuk mengikutinya. Ia hanya duduk di sisi
rumah tempat latihan yang berdinding gedhek* itu, dan mencuri
dengar pelajaran kala itu. Suatu ketika ketika para peserta yang berada
di dalam disuruh untuk menembang satu persatu, namun karena Supadmi
kecil memiliki suara yang lantang, maka suara dia yang paling terdengar.
Kejadian itu membuat sang pemilik sanggar kecil itu menganjurkan agar
Supadmi belajar kepada Bapak Sutarman karena menurut si pemilik sanggar,
Supadmi sangat berbakat.
Kemudian ia pun nyantrik kepada
Bapak Sutarman, sambil bekerja. Setelah belajar oleh Bapak Sutarman,
kemudian Supadmi bekerja sebagai waranggana (pesinden) di Radio RRI
Surakarta, pada suatu kesempatan ia ditawari untuk mengikuti kontes
sinden antar radio RRI. Supadmi tidak menyangka dia memenangkan lomba
tersebut. Semenjak hal itu, namanya menjadi terkenal di seantero
Surakarta. Kemudian ia pun menjadai waranggana rombongan Ki Narto Sabdo,
dan belajar lebih dalam lagi mengenai dunia waranggana. Kesempatan
besar menghampirinya, ia ditawari menjadi dosen tamu untuk mengajarkan
sinden di Amerika, tidak banyak berpikir ia langsung mengiyakan tawaran
tersebut. Sepulangnya dari mengajar, nama Supadminingtyas pun semakin
dikenal, beberapa kali ia masuk menjadi headline surat kabar
baik di Jawa Tengah, maupun Surakarta. Beberapa kali ia juga mengikuti
misi kesenian di luar negeri, seperti Belgia, Italia, dan Perancis. Ia
pun menjadi pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta.
Tidak
hanya aktif sebagai pengajar dan peserta misi kebudayaan saja, beliau
pun aktif menulis tembang, menghasilkan berbagai rekaman. Total sekitar
160 lebih kaset rekaman yang ia hasilkan. Ia juga menggubah beberapa
tembang, dan menulis beberapa buku mengenai tembang dan sinden. Hal yang
paling jarang dilakukan oleh pesinden manapun. Hal yang paling
menakjubkan adalah ketika ia menjadi pengajar warga asing yang ingin
belajar menjadi waranggana. Salah satunya adalah Hiromi Kano, warga
negara Jepang yang saat ini menjadi sinden yang sukes baik di Indonesia
maupun mancanegara.
Rumah
yang lengang itu menjadi saksi bagaimana seorang waranggana yang hanya
dikenal diantara desa dan dusun, menjadi terkenal hingga mancanegara.
Para Peserta BBM tiba, beliau memberikan pelajaran mengenai tembang,
suaranya masih lantang dan amat merdu, mengalir diantara keheningan
rumah itu. Sesekali badannya menegakkan tubuhnya yang renta, dengan
perut yang sedikit membesar karena mengidap infeksi hati. Walaupun
demikian, beliau masih dengan sabar mengajari para calon waranggana muda
di rumahnya.
Beberapa
bulan di rumah itu sudah tidak ada lagi tembang yang bergema. Semakin
sunyi dengan lingkungan yang sepi dan asri. Pagi ini, Nyi
Supadminingtyas berpulang menghadap Sang Kuasa meninggalkan seorang
suami, tiga orang anak dan beberapa cucu. Kini Gema tembang dan
lelagonnya menggema lebih jauh hingga menyentuh alam yang abadi.
“ri na wengi/ tan sah dadi ati/ suk kapandak/ kanthi/ manjing jero tilam rum/”Setiap malam selalu ada di hati, besok kapan kan akan ku nanti, merasuk ke dalam hati-Mijil Tilarum : Supadminingtyas-
(Indra Eka Widya Jaya)
0 komentar:
Posting Komentar